Rabu, 09 November 2016

Derajat Hadits Khutbah Id Dua Kali Dipisahkan Dengan Duduk

hadits-dhaif





Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1279),
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو بَحْرٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ ، عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : ” خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى ، فَخَطَبَ قَائِمًا ، ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ، ثُمَّ قَامَ “
Yahya bin Hakim menuturkan kepadaku, Abu Bahr menuturkan kepadaku, Ismail bin Muslim Al Khulani menuturkan kepadaku, Abu Az Zubair menuturkan kepadaku, dari Jabir (bin Abdillah), ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar di hari Idul Fitri atau Idul Adha, kemudian berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, lalu berdiri lagi”

Derajat Hadits

Riwayat ini dhaif jiddan, karena terdapat dua perawi yang lemah:
1. Abu Bahr, yaitu Abdurrahman bin Utsman Ats Tsaqafi
Pendapat para ulama rijal mengenai beliau:
  • Abu Hatim Ar Razi: “ia ditulis haditsnya, namun bukan hujjah”
  • Al Hakim: “ia tidak qawiy menurut para ahlul rijal”
  • An Nasa’i: “ia dhaif, penduduk Bashrah”
  • Ibnu Hajar Al Asqalani: “ia dhaif”
  • Adz Dzahabi: “banyak ahlul rijal yang mendhaifkannya”
  • Yahya bin Ma’in: “ia dha’ful hadits”
Kesimpulannya, perawi yang demikian statusnya dhaif namun bisa menjadi i’tibar.
2. Ismail bin Muslim Al Khulani
Pendapat para ulama rijal mengenai beliau:
  • Al Bazzar: “ia tidak qawiy“.
  • Al Baihaqi: “kami tidak berhujjah dengannya”
  • An Nasa’i: “matrukul hadits”
  • Abu Hatim Ar Razi: “ia dha’iful hadits, sering salah, namun bukan matruk, ditulis haditsnya”
  • Abu Zur’ah Ar Razi: “dha’iful hadits
  • Abu Hatim Al Busti: “ia dhaif, meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang masyhur, suka membolak-balik sanad”
  • Imam Ahmad: “munkarul hadits
  • Ad Daruquthni: “dhaifmatruk
  • Ibnu Hajar Al Asqalani: “pada dirinya ada kelemahan”
  • Adz Dzahabi: “ahlur rijal mendhaifkannya”
  • Ali Al Madini: “dhaif, tidak ditulis haditsnya”
  • Imam Al Bukhari: “Ibnul Mubarak dan Abdurrahman bin Mahdi meninggalkannya”
  • Yahya bin Ma’in: “laysa bis syai’in
Tampak di sini bahwa terdapat perselisihan cukup kuat mengenai Ismail bin Muslim Al Khulani apakah ia perawi yang dhaif saja ataukah matruk, namun mereka sepakat mengenai kedhaifannya. Yang rajih –wallahu a’lam– ia statusnya dhaif jiddan, dan tidak bisa menjadii’tibar.
Tidak terdapat jalan lain yang menguatkan riwayat ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini derajatnya dhaif jiddan.
Namun terdapat riwayat yang dikeluarkan An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra (1777), dari Jabir bin Samurah sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ ، قَالَ : ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ، ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً لا يَتَكَلَّمُ فِيهَا ، ثُمَّ قَامَ ، فَخَطَبَ خُطبةً أُخْرَى ” ، فَمَنْ خَبَّرَكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، خَطَبَ قَاعِدًا فَلا تُصَدِّقْهُ
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamberkhutbah sambil berdiri, lalu duduk tanpa berkata-kata, lalu berdiri lagi dengan mengkhutbahkan yang lain. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah sambil duduk, janganlah dibenarkan”.
Riwayat ini shahih semua perawinya tsiqah, dan dikeluarkan oleh An Nasa’i dalam Kitabul Idain (bab dua hari raya). Namun riwayat ini dijelaskan dalam riwayat lain dalam Sunan Ash Shugra (1402):
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ ، قال : ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ، ثُمَّ يَقْعُدُ قِعْدَةً لَا يَتَكَلَّمُ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ خُطْبَةً أُخْرَى ، فَمَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَاعِدًا فَقَدْ كَذَبَ
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamberkhutbah pada hari Jum’at sambil berdiri, lalu duduk tanpa berkata-kata, lalu berdiri lagi dengan mengkhutbahkan yang lain. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah sambil duduk, maka ia telah berdusta”.
Jadi yang tepat, hadits ini berbicara mengenai khutbah Jum’at, bukan khutbah Id. Memang ini menunjukkan bahwa An Nasa’i berpendapat meng-qiyaskan khutbah Id dengan khutbah Jum’at, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Namun demikian yang jadi poin di sini adalah bahwa yang dimaksud dalam hadits Jabir bin Samurah mengenai khutbah dua kali adalah khutbah jum’at dan bukanlah khutbah Id sehingga tidak bisa menguatkan hadits Jabir bin Abdillah di atas.
Oleh karena itu Syaikh Al Albani rahimahullah mengomentari hadits Jabir bin Abdillah dalam Sunan Ibnu Majah: “hadits ini munkar secara sanad dan matan, karena yang mahfuzh hal tersebut berlaku pada khutbah Jum’at” (Dhaif Ibni Majah, 235.)

Khutbah Id satu kali atau dua kali?

Terdapat hadits lain yang shahih yang zhahir-nya menunjukkan khutbah Id adalah satu kali,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ: شهدتُ الفطرَ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وأبي بكرٍ وعمرَ وعثمانَ رضيَ اللهُ عنهم ، يُصلُّونها قبلَ الخُطبةِ ، ثم يَخطبُ بعدُ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata: “Aku menghadiri hari raya Idul Fitri bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiallahu’anhum, mereka shalat Id sebelum khutbah. Kemudian setelah itu beliau berkhutbah … ” (HR. Bukhari-Muslim).
Zhahir hadits ini menyebutkan “khutbah”saja bukan “dua khutbah”. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa ini bukan pendalilan yang sharih (tegas). Pendapat yang menenangkan hati kami adalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin:
المشهور عند الفقهاء رحمهم الله أن خطبة العيد اثنتان ، لحديث ضعيف ورد في هذا ، لكن في الحديث المتفق على صحته أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم لم يخطب إلا خطبة واحدة ، وأرجو أن الأمر في هذا واسع
“Yang masyhur dari para fuqaha rahimahumullah adalah bahwa khutbah Id itu dua khutbah, berdasarkan hadits dhaif tentang hal ini. Namun dalam hadits yang muttafaq ‘alaihkeshahihannya disebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berkhutbah kecuali satu khutbah saja. Namun saya rasa ini adalah perkara yang luas” (Majmu’ Fatawa war Rasail Ibnu Utsamin, 16/246, dinukil dari: https://islamqa.info/ar/67942).
Yang lebih tepat, khutbah Id itu satu kali, namun hendaknya bersikap lapang dalam hal ini, yaitu tidak mengingkari yang berkhutbah dua kali, sebagaimana para ulama juga bersikap lapang. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar