~ Dalam buku susunan
Tim PP Muhammadiyyah Majlis Tarjih yang berjudul “Tanya Jawab Agama 4”
halaman 24-25 dibahas pembahasan yang cukup menarik, dengan judul
“Hubhul Wathan Minal Iman” Bukan Hadits. Berikut kami kutip langsung
dari buku tersebut.
Tanya:
“Dalam suatu majalah disebutkan suatu hadits yang artinya: “Bukan dari
golongan kami orang yang berperang semata-mata atas dasar kebangsaan,
dan bukan golongan kami yang matinya karena fanatik kebangsaannya.” (HR.
Abu Dawud). Ada hadits lagi yang artinya: “Cinta tanah air itu sebagian
dari iman.” Pertanyaannya, kedua hadits tadi bertentangan. Bagaimana
penjelasannya dan bagaimana pula nilai keduanya?” (Mujibur Rahman,
Kalipepe Rt. 02 Rw. 92 Kec. Yosowilangun Kab. Lumajang Jatim).
Jawab:
“Hadits yang pertama yang anda tanyakan adalah benar riwayat Abu Dawud
dari Jubair bin Muth’im, nilainya hasan. Maksud dari hadits tersebut
bahwa perang yang dimaksud dengan jihad fi sabilillah adalah perang
yang menegakkan kebenaran, agar kalimat Allah dapat ditegakkan. Jadi
orang yang melakukannya haruslah berniat semata-mata karena Allah
memerintahkan untuk menegakkan kebenaran. Itu perang yang dibenarkan
oleh Nabi kita. Selanjutnya kematian yang semata-mata didasarkan karena
fanatik kebangsaan padahal bangsa itu berbuat aniaya atau tidak benar,
bukanlah kematian yang dipandang syahid. Adapun haditsyang berbunyi:
“Hubbul wathan dan seterusnya”, adalah hadits maudhu’ artinya hadits
palsu, tidak shahih. Memang dalam pengertian yang baik mempertahankan
tanah air karena kebenaran adalah benar.
Dalam
hadits riwayat at-Tirmidzi dan lainnya dengan nilai shahih orang mati
karena mempertahankan hartanya adalah termasuk syahid, maksudnya syahid
akhirat, yakni mendapat pahala sebagaimana orang yang mati syahid.
Termasuk juga dalam riwayat itu orang yang mati karena mempertahankan
tanah air yang akan dirarnpas sebagaimana dalam perang kemerdekaan kita
di masa yang lampau.
Kesimpulannya,
hadits yang pertama nilainya hasan, hadits yang kedua lemah. Sedang
mati semata-mata karena fanatik kebangsaaan yang salah tidak termasuk
syahid, tetapi kalau mati dalam mempertahankan tanah air, mempertahankan
kebenaran yang diperintahkan Allah maka dapat dimasukkan pada mati
syahid.”
Sedangkan
dalam kitab Asna al-Mathalib hadits ini memang masuk dalam kategori
maudhu’. Tapi menurut pentahqiqnya Syaikh Mahmud al-Arnauthi dan Imam
as-Sakhawi dalam kitab Maqashid al-Hasanah mengatakan “tidak mengenal
hadits ini” (لم اقف عليه), tapi makna haditsnya shahih.
KH.
Ahmad Baso menuliskan bahwa dalam ilmu hadits dibedakan dua jenis
penilaian periwayatan, riwayat bissanad dan riwayat bilmatan; ada yang
shahih dua-duanya, ada yang salah satunya; misal riwayat bilmatan shahih
meski tidak shahih bissanad. Hadits “Hubbul Wathan” ini masuk kategori
terakhir itu. Dan ulama pendiri NU tidak mungkin mencomot ungkapan itu
tanpa sadar akan perbedaan ini.
Rasulullah
Saw. bersabda: “Hubbul wathan minal iman” (Cinta tanah air itu bagian
dari iman). Cinta adalah sumber dari rasa tanah air adalah sumber dari
materi. Iman adalah sumber dari semua agama. Hadits di atas termaktub
setidaknya di 6 kitab, yaitu:
1) Dalil al-Falihin Syarh Riyadh ash-Shalihin jilid 1 halaman 26.
2) Ad-Durar al-Muntasyirah hadits nomor 189.
3) Al-Maqashid al-Hasanah hadits nomor 391.
4) Kasyf al-Khafa hadits nomor 2011.
5) Al-Asrar al-Marfu’ah hadits nomor 168.
6) Tadzkirat al-Maudhu’ah jilid 2 halaman 128.
Dalam QS. al-Baqarah ayat 126, Allah Swt. berfirman:
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ
أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۖ
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim As. berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari
kemudian.”
Nabi
Ibrahim As. berdoa agar tanah airnya: a) Menjadi negeri yang aman
sentosa, b) Penduduknya dilimpahi rizki, c) Penduduknya iman kepada
Allah dan hari akhir.
Dalam ayat yang lain yang serupa dengan ayat di atas ada di QS. Ibrahim ayat 35:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim As. berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
dari menyembah berhala-berhala.”
Ini
menunjukkan Nabi Ibrahim As. adalah seseorang yang begitu mendalam
mencintai tanah airnya. Kemudian di dalam QS. an-Nahl ayat 123 kita
diperintah mengikuti millah (jejak) NabiI brahim As.:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad Saw.): “Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif.” Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan.”
Salah
satu dari millah Nabi Ibrahim As. adalah mencintai tanah air. Mengapa
harus mencintai tanah air? Dalam kitab Jami’ ash-Shaghir jilid 1 bab
huruf Ta’ halaman 222, Rasulullah Saw. bersabda: “Jagalah dirimu dari
bumi, maka sesungguhnya bumi itu adalah ibumu.”
Adalah
perintah untuk menjaga diri sendiri dan ibu pertiwi (tanah air) dari
tindakan-tindakan negatif dari diri sendiri maupun tindakan orang luar.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 261, ketika mensyarahi hadits Imam Bukhari dari sahabat Anas Ra.:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ
كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا
“Adalah
Rasulullah Saw. jika pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi
kota Madinah mempercepat jalan untanya dan bila menunggang hewan lain
beliau memacunya.”
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata:
وفي الحديث دلالة على فضل المدينة ، وعلى مشروعية حب الوطن والحنين إليه
“Dalam hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaanya kota Madinah, dan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.”
Dalam QS. ar-Rum ayat 41, Allah Swt. berfirman:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Di dalam kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan, diriwayatkan ketika turun surat al-Qashash ayat 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ
Saat
itu Nabi Saw. dilanda rasa rindu yang sangat kepada kota Makkah, karena
memang Makkah adalah kota kelahiran dan tempat tinggal beiau, negeri
datuk-datuk dan kerabat-kerabat beliau serta kota datuk utama beliau
yaitu Sayyidina Ibrahim As. Sehingga ayat tersebut merupakan satu kabar
gembira dari Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. dan suatu hal yang
benar-benar akan direalisasikan oleh Allah Swt.
Sehingga
seakan-akan Allah Swt. mengatakan: “Jangan kamu mengira wahai Muhammad
bahwa nasibmu itu sama dengan ayah kamu Ibrahim yang hijrah dari
Negerinya Haran satu negeri kafir menuju kota suci dan tidak akan pernah
kembali lagi ke Haran. Jangan pula kamu mengira bahwa keadaanmu sama
dengan ayah kamu Ismail yang hijrah dari negeri yang suci menuju negeri
yang lebih suci.”
Kemudian penulis kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan ini melanjutkan:
و في تفسير الاية اشارة ان حب الوطن من الايمان
“Dan dalam pengertian, kesimpulam serta tafsir dari ayat ini menunjukkan bahwa cinta terhadap negeri adalah sebagian dari iman.”
Hadits
memang maudhu’ tapi maknanya shahih. Tapi bagaimana para salaf kita
selalu mendengungkan ungkapan-ungkapan itu. Artinya kalau ditolak serta
merta juga tidak bisa karena secara makna juga tepat. Oleh karena itu
dalam kesimpulan selain menyebutkan derajatnya dalam kacamata musthalah
hadits juga harus ditampilkan bahwa secara makna shahih.
Maka
seprti redaksi dalam kitab Asna al-Mathalib setelah menyebutkan derajat
hadistnya beliau juga menampilkan redaksi “tetapi maknanya shahih”
supya sampai dalam kesimpulan jangan sampai ditolak serta merta.
Jadi
seperti Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari nampak sering berrbicara
dengan ungkapan “Hubbul wathan minal iman”. Bukan berarti beliau
berdalil dan mengatakan bahwa itu adalah hadits. Akan tetapi beliau
mengajak rakyat untuk mencintai negeri ini. Beliau menggunakan motto itu
karena benar adanya secara makna.
Seperti
halnya kedudukan motto-motto yang lain seperti hadits-hadits maudhu’
yang lain tapi maknanya shahih seperti “Tuntutlah ilmu dari buaian
hingga ke liang lahad”, walaupun maudhu’ tapi maknanya benar bahwa jika
menuntut ilmu itu tak akan pernah terikat dengan waktu, usia dan
keadaan. Bukan berarti jika itu hadits dhaif kita dilarang untuk
menyebutkannya seperti yang didengung-dengungkan saudara-saudara kita
dari aliran Salafi-Wahabi.
Kemudian
dalam kitab Dalil al-Falihin Syarh Riyadh ash-Shalihin jilid 1 halaman
27 disebutkan: “Maka semestinya bagi orang yang sempurna imannya hendak
membuat kemakmuran akan tanah airnya dengan amal shaleh.”
Yang
dimaksudkan dengan cinta tanah air itu adalah memakmurkan tanah airnya,
memakmurkan dengan amal-amal shaleh atau amal-amal yang baik. Sedangkan
tanah air manusia itu ada dua macam: 1) Tanah air jasmani, yaitu bumi
tempat kita lahir dan berpijak, dan 2) Tanah air ruhani, yaitu tanah air
akhirat, tempat dimana ruh kita berasal dan akan kembali nantinya.
Kedua
tanah air kita ini harus dimakmurkan, baik tanah air ruhani maupun
jasmani. Dimakmurkan dengan perbuatan-perbuatan baik. Sehingga nantinya
kita bisa menuai buahnya:
رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلاَحِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Wallahu al-Musta’an A’lam.
Sya’roni As-Samfuriy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar